Kurang Puas Dengan Blackberry

Dulu sebelum Blackberry booming di Indonesia, memilih handphone merupakan urusan kecil. Gw hanya berfokus pada Nokia atau Sony Ericson karena pada waktu itu, 2 HP inilah yang dianggap paling bagus dan terpercaya. Namun gw cenderung memilih ke Nokia karena alasan utamanya adalah OS Symbian yang stabil, cepat, dan mudah digunakan dan mudah di kustomisasi melalui banyaknya theme dan aplikasi. Gw sangat jatuh cinta dengan Symbian sampai-sampai apabila HP itu tidak menggunakan Symbian berarti gw gak akan mau pakai.

Namun segalanya sudah berubah, dengan munculnya Blackberry, hampir seluruh orang Indonesia yang gw kenal menggunakan Blackberry atau ingin membeli Blackberry. Gw pun ikut (terpaksa ikut) kedalam trend Blackberry karena gw kuliah di luar negri. Orang tua gw memerlukan suatu cara untuk menghubungi gw dengan relatif murah. Maka Blackberry adalah solusinya. Dengan sistem koneksinya yang “always on” dan fitur Blackberry Messenger, sebuah aplikasi instant messenger yang selalu aktif (selama menggunakan data plan), gw dapat dengan mudah dan murah berkomunikasi dengan mereka.

Begitu pula dengan orang-orang lain. Mereka ingin berkomunikasi dengan lebih murah. Anggaplah 1 SMS 160 karakter biayanya Rp. 350. Dengan Blackberry, anda dapat berkomunikasi sepuasnya dengan Blackberry Messenger dengan biaya Rp. 50.000 hingga Rp. 100.000 per bulan. Lebih murah, jauh.

Mulai kebawah, tulisan merupakan pengalaman pribadi yang sifatnya SANGAT SUBJEKTIF. Ini adalah OPINI PRIBADI dan mungkin TIDAK BERLAKU/SALAH UNTUK ANDA.

Gw dari Nokia, masih harus membiasakan diri dengan Blackberry dan sudah setahun lebih gw menggunakan Blackberry, gw masih juga tidak puas dengan HP ini. Gw mau mencari HP yang dapat memuaskan gw seperti Nokia gw dulu. Sebagai mantan pengguna Nokia, yang pertama kali gw rasakan dari Blackberry adalah boros baterai. HP ini konstan terhubungkan ke internet sehingga berimbas ke daya tahan baterai. Pada Nokia, rekor pemakaian baterai teririt gw adalah 4 hari setengah (E71), sementara pemakaian biasa berkisar antara 2 hari full atau 3 hari setengah. Pada Blackberry pertama gw (9000/Bold), baterai hanya tahan sehari atau setengah hari. Namun pada Blackberry kedua gw (9780/Onyx 2) jauh lebih baik; dapat bertahan 2 hari setengah dalam mode 2G atau 1 hari setengah dalam mode 3G.

Keluhan gw nomor 2 dari Blackberry adalah OSnya. Blackberry OS memang ditujukan untuk kalangan professional, bukan konsumer. Tidak banyak kesenangan yang bisa didapatkan pada OS ini. Kustomisasi sulit dilakukan karena pilihan aplikasi dan theme sedikit. Kalaupun ada yang gratis biasanya tidak bagus, kalaupun ada yang bagus, bayar (selera pribadi). Developer sepertinya memilih untuk membuat aplikasi/theme mereka untuk OS lain. Mau diakalin dengan bajakanpun juga bajakannya susah dicari, di forum-forum spesialis aplikasi HP kebanyakan untuk Android/Symbian. HP Nokia gw memang mungkin tidak “wah” secara default. Namun dengan aplikasi dan theme yang dapat di download, HP ini dapat memberikan gw bermacam-macam fungsi yang sangat berlimpah, begitu pula dengan Android. Bahkan Nokia N95 butut gw dapat memberikan gw turn-by-turn navigation system secara offline melalui aplikasi Garmin dibandingkan Blackberry 9780 gw yang mengandalkan segalanya online.

OS Blackberry penomorannya lumayan membingungkan menurut gw. Hal ini sangat terasa saat pertama kali gw mau menginstall Hybrid OS. Contoh dari sebuah file OS blackberry sebagai berikut:

Package Version: 6.0.0.2921
Consisting of:
Applications: 6.0.0.666
Software Platform: 6.6.0.241

Saat gw belum mengerti apa-apa, gw kebingungan mana sebenarnya versi OSnya. Untuk menginstall hybrid diperlukan sebuah base OS yang harus COCOK nomornya, dan gw gak tau sama sekali yang mana nomornya. Apakah yang harus cocok itu package version? Apakah applicationnya? Apa software platformnya? Sungguh membingungkan.

Setiap version di klaim oleh para antusias memiliki daya tahan baterai, kemampuan locking signal, tingkat responsifitas dan kelancaran, serta berbagai kelebihan dan kekurangan/bug yang berbeda. Versi terbaru belum tentu terbaik, membuat gw semakin pusing mengupdate OS. Belum lagi setiap carrier memiliki OS resmi yang berbeda-beda kecuali anda akali hingga bisa masuk ke HP anda. Pada OS gw, pilihan “Compose PIN” hilang dari menu dan akan kembali saat gw restart HP gw. Theme custom tidak ada yang berjalan dan sempat membuat rusak theme asli HP gw.

Sepertinya Blackberry OS sangat senang dengan kata “restart”. Hapus aplikasi harus restart, install aplikasi kadang terpaksa restart karena tidak berjalan (contoh Google Maps, sebelum HP gw di restart tidak mau jalan), update software restart, apa-apa restart. Bahkan HP ini harus rajin di restart supaya tetap lancar jalannya. Dan tahu berapa waktu yang dibutuhkan untuk booting HP ini? Hitungan stopwatch gw menunjukkan antara 1 menit 45 detik hingga 2 menit 50 detik. Bahkan katanya ini sudah tergolong cepat. Gw jadi teringat HP Nokia yang pernah gw pakai (N-Gage/6600/N70/E71/N95) gw bisa booting kurang dari 30 detik. Samsung Galaxy Mini gw dapat booting hanya dalam 50 detik bahkan itu tergolong lambat akibat gw install Android 2.3 non resmi, aslinya lebih cepat jauh.

Blackberry juga lambat dibanding Nokia yang pernah gw pakai atau Samsung Galaxy Mini gw. Padahal Blackberry menggunakan processor yang kurang lebih sama dengan Samsung gw (600an MHz) dan antara 2-4x lipat lebih cepat dari processor Nokia lama gw. Lambatnya HP ini sangat terasa pada saat browsing dan mengakses foto-foto yang tersimpan dalam HP dan terasa jauh semakin parah saat menginstall atau menghapus aplikasi. Saking lambatnya hingga layar Blackberry gw hang sebentar (ada gambar jam). Gw masih ingat dulu dengan Nokia gw, gw lancar-lancar saja SMSan atau melakukan hal lain sambil menginstall aplikasi. Bahkan untuk sedikit menghabiskan waktu luang dan mendapatkan kinerja dan pengalaman yang lebih baik, gw sudah juga mencoba untuk meng-update OS gw, bahkan hingga menginstall Hybrid OS pada Blackberry gw. Tidak banyak perubahan yang dapat gw rasakan. Sedikit membaik tapi tetap tidak memuaskan.

Belum lagi Blackberry tidak dapat menggunakan koneksi internet GPRS biasa, harus tersubskripsi dengan data plan spesial karena sistemnya untuk mengakses internet beda dengan HP biasa. Memang lebih aman karena data terenkripsi semua, namun gw tidak membutuhkan ini karena gw hanya “consumer”. Tanpa data plan dan/atau Blackberry Messenger, Blackberry adalah sebuah HP biasa yang tidak akan dilirik konsumen.

Ada 2 pilihan lain yang sedang booming juga di Indonesia, Android dan iPhone. Keduanya mendapatkan kesan positif dari para penggunanya, gw pun mau mencoba, siapa tahu antara kedua itu dapat memuaskan gw. Karena iPhone harganya kurang terjangkau oleh gw dan kurang dapat di kustomisasi sampai ke tahap OS (kecuali jailbreak), gw tidak memilih iPhone dan gw membeli Samsung Galaxy Mini.

Galaxy Mini adalah HP kecil yang sangat menarik, tepatnya OS Androidnya yang sangat menarik. Gw berhasil mengembalikan kenangan masa SMP-SMA gw dimana gw banyak membongkar OS dan menginstall aplikasi untuk mengcustom HP gw. Bahkan HP ini telah gw modif dengan kernel yang siap di overclock dan OS yang lebih baru dari resminya. Namun masih ada yang kurang memuaskan gw, yaitu spesifikasinya. Jeleknya HP yang berOS Android adalah terlalu banyak pilihan, jadi aplikasi bisa saja tidak kompatibel dengan HP A atau B karena spek atau OSnya tidak kompatibel. Memilih HP menjadi susah. Selain itu absennya keyboard fisik pada kebanyakan HP Android membuat mengetik dan mengerjakan beberapa pekerjaan menjadi lebih lama. Terutama tombol-tombol krusial seperti angkat dan tutup telepon, mode seleksi, dan navigasi.

Gw sungguh berharap untuk lepas dari Blackberry, sebab hanya push mail dan Blackberry Messenger yang membuat gw merasa “fine” menggunakan HP ini. Namun popularitasnya yang sangat kuat di Indonesia membuat gw terpaksa harus menggunakan HP ini juga sampai ada pergeseran trend handphone. Hampir semua orang memilih untuk menghubungi dan dihubungi melalui Blackberry Messenger sehingga seakan gw tidak memiliki pilihan lain selain ikut. Memang ada aplikasi penghubung antar beberapa HP seperti Whatsapp atau PingChat. Namun tidak semua orang punya, mau, dan bisa (buat yang gaptek) menambahkan aplikasi tersebut pada handphonenya.

Menurut gw HP killer itu adalah HP yang memiliki fitur konektivitas dan messaging seperti Blackberry, dapat di kustomisasi seperti Android atau Symbian dan memiliki reabilitas seperti Nokia Symbian. But it’s too good to be true, isn’t it?

7 Comments

  • selly says:

    saya galmin. Saya keukeh dr awal indonesia latah pke BB, saya gk mau lirik. Intinya saya gk mau pasaran. Hehe. Sodara n tmn pke BB smua, saya gk peduli. Dan tbukti skrg saya lebih “gaul” dibanding mereka dlm urusan aplikasi dll. Dan yg trutama pulsa lbh hemat, jangkauan internet luas mo download/ browsing apapun. Fortunatelly saya pilih ini (y) 8)

  • ivantoar says:

    Wah selamat atas pilihannya. Salut dengan mentalnya yang tidak ikut-ikutan latah. Saya terpaksa latah karena kondisi jarak saya. Biarlah yang penting orang tua tenang :)

  • aruy says:

    Saya setuju untuk unek2 di atas..krna sy mengalami sendiri bb emang hp “RESTART”

  • jarot says:

    sejarah hp yg pernah loe pakai sama persis dengan yg ku pakai.
    “gila..
    apa mungkin cuma kebetulan ya :D
    ….jangan2, pernah juga ngrasain format 3 jari waktu pakai nokiyem genndut itu :P

  • ivantoar says:

    @aruy Mungkin harus di install ulang kali yah OS nya. Kalo saya pernah gejalanya HP gak mau masuk OS/gagal boot dan cuman nyala lampu merah. Saya flash dan install OS baru aja eh jalan lagi.

    @jarot Hahaha mungkin diantara banyak orang di dunia pasti ada satu orang yang jalannya mirip-mirip sama kita :p Tentu saja saya udah ngerasain format 3 jari waktu pake N95 sakti itu hehehe.

  • Mas Dhar says:

    Gw se7 banget sm postingan ini, sempat tertarik jg sm BB, gara2 BBM nya, tp setelah liat BOOTINGnya yg gw bilang SUPER LAMA, akhirnya tetep bertahan dg Nokia E63 dg OS Symbiannya, yg bs dibilang paling asyik utk urusan Mooding. Tp tetep berharap ada BBM utk versi Symbian.

    • ivantoar says:

      Akhirnya berpasrah diri dan pindah ke Android tahun lalu. Bisa dibilang enggak nyesel. Setelah sudah terbiasa dengan touch screennya ya jadi serasa jaman Symbian. Sayang aja tetep kadang mengharap keyboardnya physical :)

Leave a Reply to ivantoar Cancel reply